Guruku, Pahlawan Kami!

Oleh: Irma Agustiana
PAGI ini, seperti biasanya dingin menyapaku dan mengajak aku untuk segera bersiap-siap berangkat ke sekolah. Tepat pukul 06.00 pagi, aku selalu berangkat ke sekolah karena jarak rumahku yang lumayan jauh. Di perjalanan, aku selalu ditemani dengan lembutnya sapaan udara pagi dan riuhnya suara kendaraan.
Perkenalkan aku adalah Sari salah satu siswa di SMA Kabupaten Bangka. Aku termasuk siswa yang selalu buat rusuh di sekolah. Setibanya di sekolah, aku selalu disambut dengan senyum Pak Salim. Beliau adalah salah satu guru yang tidak pernah membenci dan menghukumku atas semua kenakalanku.
“Hai, Sari. Selamat pagi, semangat belajar ya nak. Jangan selalu buat ulah,” sapa Pak Salim. “Hahaha…. oke, Pak jika saya bisa berubah pikiran ya,” candaku. Aku pun segera menuju kelas. Seperti biasanya di kelas, aku selalu membuat ulah dan sering menjahili teman-temanku.
Tak lama kemudian bel pun berteriak menandakan jam pertama akan dimulai. Guru pun masuk dan segera mengajari kami. Singkat cerita pelajaran hari ini pun selesai. Aku pun segera bergeas pulang. Di perjalanan menuju rumah, tidak sengaja indera pengelihatanku tertuju pada sosok yan tak asing bagiku. Iya, beliau adalah Pak Salim.
Di sana, terlihat beliau sedang mengajari anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik. Melihat hal ini, aku merasa kagum kepada sosok guruku yang ramah dan peduli terhadap sesama. Aku pun terus memperhatikan guruku itu. Tanpa terasa hangatnya senyum mentari mulai menghilang. Aku memutuskan untuk pulang dan berhenti memperhatikan Pak Salim.
Setibanya di rumah, aku segera melanjutkan aktivitasku seperti biasanya. Malam pun tiba, aku menuju taman dan duduk di sana. Bintang-bintang terlihat senang menemaniku malam ini dengan sinarnya yang begitu indah. Sambil menikmati alam yang begitu indah tiba-tiba pikiranku dihantui oleh bayangan Pak Salim. Entah kenapa aku jadi memikirkan guru yang begitu ramah ini. Berkali-kali aku mencoba menepis, bayangan itu terus saja bersemayam di pikiranku. “Huh…sudahlah ku biarkan saja bayangan ini,” tegasku.
Malam pun berlalu. Keesokan harinya, seperti biasa aku melanjutkan aktivitasku di sekolah. Saat jam istirahat aku kembali melakukan aksiku untuk menjahili teman-temanku. Dan tanpa aku sadari gerak-gerikku dari tadi diperhatikan oleh Pak Salim. Beliau hanya tersenyum melihatku. “Nak Sari, ayo sini ikut bapak” ajak Pak Salim. “Ada apa pak?” tanyaku. “Ada beberapa hal yang ingin bapak tanyakan padamu” jawab Pak Salim. “Baiklah, Pak,” tegasku.
Aku pun mengikuti Pak Salim tanpa menolaknya sedikit pun padahal jika ada guru yang memanggil dan mengajakku berbicara aku pasti tidak mau menurutinya. Tetapi, kali ini berbeda.
Setibanya di ruang Pak Salim aku mulai dihujani pertanyaan mengenai ulahku yang selalu buat keributan dan keresahan di sekolah. “ Nak Sari, bapak mau tanya ada apa denganmu nak?” “Saya tidak ada apa-apa pak. Memangnya kenapa?” “Begini, bapak perhatikan dari dulu kau selalu saja membuat ulah. Ada apa denganmu? Ayo ceritakan pada bapak” “Hmm…sebenarnya begini pak. Aku seperti ini karena sebagai bentuk protesku terhadap orang tuaku yan kurang memerhatikanku” tegasku.
“Anakku, apakah kau tahu jika bentuk protesmu ini salah besar” “Kenapa salah pak? Lantas yang benar seperti apa?” tanyaku. “Yang benar kamu harus merubah tingkahmu dan menjadi siswa yang berprestasi” nasehat Pak Salim. “Tapi bagaimana caranya, Pak" Bukankah semua orang sudah membenciku karena ulahku. “Begini saja jika kau mau tahu caranya, pulang sekolah ini kau ikut Bapak”
Waktu pun berlalu. bel tanda pulang bernyanyi dengan indah. Aku pun segera mencari Pak Salim. Kami pun pergi ke tempat yang kemarin tak sengaja aku lihat. Ya, tempat Pak Salim belajar bersama anak-anak yang memiliki keterbatasan. Aku pun mulai bingung kenapa aku bisa diajak ke tempat seperti ini.
Aku hanya diam dan memerhatikan Pak Salim yang sedang mengajar. Dan tanpa aku sadari mataku mulai berkaca-kaca melihat Pak Salim dan anak-anak yang begitu semangat. Hari ini pun berlalu. Aku diajak Pak Salim ke rumahnya.
Betapa terkejutnya aku ketika perjalanan ternyata jalan menuju rumah Pak Salim begitu jelek dan jembatannya pun hanya berlapis pohon kelapa yang disusun. “Ya Allah, Pak. Jalannya tidak ada yang bagus ya” gerutuku. “Nah, inilah nak yang harus kau tahu. Setiap hari Bapak selalu melewati jalan ini untuk mendidik kalian” tegas Pak Salim. “Lalu apa hubungannya dengan saya, pak?” “Begini nak, Bapak ingin menegaskan lagi ke kamu agar kamu berubah. Bisa kau lihatkan anak-anak tadi walaupun mereka memiliki keterbatasan tetapi mereka semangat belajar dan ingin berprestasi. Sedangkan kamu baru Bapak ajak untuk lewat sini sudah mengeluh terus” tegas Pak Salim.
Aku pun terdiam dan termenung mendengar perkataan beliau. Sejak hari itu, aku mulai merubah sikapku. Aku kini lebih banyak diam dan berusaha mengukir prestasi.
Pak Salim sangat senang melihat perubahanku, Ia selalu memberi nasihat untukku mengenai pelajaran hidup. Setelah satu minggu dari perubahanku, tak terlihat lagi olehku senyum Pak Salim dan nasihatnya yang selalu menghantuiku setiap hari. Aku pun berusaha mencari informasi mengenai Pak Salim ternyata beliau tidak lagi mengajar di sekolahku. Beliau lebih memilih untuk mendidik anak-anak yang kurang mampu dan memiliki keterbatasan di luar sana. Mendengar hal itu, aku langsung meneteskan air mata karena teringat perjuangan beliau yang harus melewati jalan yang begitu jelek setiap harinya untuk mendidik kami dan anak-anak di luar sana.
Aku juga kagum kepada beliau yang mau mengajakku untuk berubah menjadi lebih baik. (*)
Biodata Penulis:
Nama : Irma Agustiana, S.Pd.
Tempat, tanggal lahir: Sungailiat, 17 Agustus 1993
Alamat : Komplek Prumnas (RSS) Jalan Cendana 2 Nomor 14 Sungailiat-Bangka.
No HP : 087796607349
Alamat email : filzahmustaqim@gmail.com Asal sekolah : UPTD SMPN 3 Pemali.