Kiyai Usman Fathan, Teladan Ulama Bersahaja dan Panutan

avatar ADMIN

Oleh: AHMADI SOFYAN (Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya)

Sosoknya sangat berpengaruh, walaupun sejak dulu tidak pernah disebut “30 Tokoh Berpengaruh Bangka Belitung” atau “10 Pemuda Berpengaruh Bangka Belitung” seperti sekarang yang sedang ramai “dimainkan” oleh orang-orang yang sedang kepengen populer dan dipopulerkan. Maklum, sudah dekat Pemilu.

“BAIK………… Masya Allah orang baiiiik” “Masya Allah, anak muda yang baiiiik….”, begitulah yang sering saya dengar dari mulut sang Ulama besar yang pernah dimiliki oleh Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Logat bicaranya sangatlah khas, bahkan saya paling sering meniru logat bicara Pak Kiyai ini kala lagi ngobrol dan kumpul sama teman-teman. Lantas teman-teman tertawa ngakak dan mengatakan ”kok persis”. Begitulah kala saya menyukai dan mengidolakan seseorang, termasuk saya paling sering dulunya meniru gaya bicara Zulkarnain Karim. Bahkan Wakil Wali Kota, Malikul Amjad, paling senang kala saya telponan dengan beliau meniru gaya Zulkarnain Karim, pastinya dia ngakak abis.

“Pak Kiyai” atau “Kiyai Usman Fathan”, begitulah masyarakat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menyapa beliau. Sosok Ulama pemersatu dan tawadhu’ ini dikenal luas oleh masyarakat Kepulauan Bangka Belitung. Siapapun pejabat dan tokoh Bangka Belitung, pasti sowan menemui beliau. Kesederhanaan hidup dan kesahajaannya dalam sikap, membuat ia semakin besar di tengah masyarakat.

Kain sarung dan sepeda pancal adalah khas sosok Ulama panutan ini. Bukan tidak sering Pemerintah ingin memberikan mobil kepada beliau, namun selalu ditolak. Padahal beliau bertahun-tahun dipercaya sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Suatu saat, saya tanya kala ngobrol berdua sama beliau di kediamannya: “Mengapa selalu menolak diberikan mobil sama Pemerintah?”, dengan enteng seraya tertawa beliau menjawab: “Saya nggak bisa pakai mobil, bisanya pakai sepeda sajalah”. Lantas saya membantah: “Kan disiapkan sopir juga sama Pemerintah”. Tapi lagi-lagi beliau menjawab; “Itulah, saya nggak mau ngerepotin orang, apalagi Pemerintah. Saya begini saja, lebih nyaman dan bersyukur pada Allah SWT”.

Walau diri adalah seorang Ulama Besar, Ketua MUI Provinsi, orang yang sangat dihormati, tapi rumahnya terbuka bagi siapa saja, tanpa memandang suku dan agama. Masyarakat Tionghua juga sering silaturahmi ke kediaman beliau yang sangat sederhana. Begitupula siapapun yang mau mengundang beliau yang lokasinya agak jauh, maka haruslah dijemput, sebab beliau tidak lagi kuat “ngincang” sepeda pancal. Kalau dekat, beliau cukup dengan sepeda pancalnya. Sosok yang benar-benar menjadi panutan bagi Ulama. Sebab sekarang ini banyak Ulama yang sudah sangat berperilaku duniawi.

Sebagai “anak nakal” saya beberapa kali silaturrahmi ke kediaman Pak Kiyai ini. Diskusi ringan, mendengar cerita perjalanan hidupnya hingga nasabnya yang ternyata dari Yaman, Timur Tengah. Kiyai kelahiran Jebus, Bangka Barat ini membuat saya bangga pernah mengenal dirinya dan beberapa kali bercengkerama.

Dalam catatan saya, selama bergaul dengan Kiyai Haji Usman Fathan ini, ada beberapa karakter yang patut kita teladani, di antara keteladanan karakter lainnya.

(1) Positif Thinking (Selalu Memandang Orang Lain adalah Baik). Bagi Kiyai Usman Fathan, tidak ada orang yang buruk, semuanya dipandang orang baik. Siapapun orangnya, selalu beliau katakan “orang baik”. Menurut saya, ada dua hal yang menjadi pelajaran penting bagi kita dari karakter yang dimiliki Pak Kiyai ini. Pertama, memberikan pandangan selalu positif kepada semua orang, akan meraih pandangan positif pula. Sebab aura positif akan memancarkan aura positif. Kedua, ucapan adalah do’a. Kalimat “orang baik” yang selalu beliau ucapkan itu bagian dari do’a Kiyai Usman Fathan, terhadap semua orang. Ini menunjukkan kelasnya, bahwa beliau menginginkan semua orang adalah orang baik dan berimbas kebaikannya pada orang lain lagi.

(2) Sederhana dan Bersahaja dalam Kebesarannya. Banyak jenis orang besar. Ada orang besar karena hartanya, ada juga karena jabatannya, juga ada karena popularitasnya, ada karena keturunannya, ada karena karyanya, ada pula karena akhaknya. Kiyai Usman Fathan besar karena akhlaknya, kehidupannya yang sederhana dan perilakunya yang bersahaja, membuat ia besar di tengah masyarakat. Walaupun dirinya tidak menjabat apapun, namun beliau tetap besar dan dihormati dalam pandangan masyarakat Kepulauan Bangka Belitung.

Sosoknya sangat berpengaruh, walaupun tidak ada disebut “30 Tokoh Berpengaruh Bangka Belitung” atau “10 Pemuda Berpengaruh Bangka Belitung” seperti sekarang yang sedang “dimainkan” oleh orang-orang yang sedang kepengen populer dan dipopulerkan.

Kiyai Usman Fathan memiliki ciri khas berbusana sederhana. Saya belum pernah melihat Kiyai Usman Fathan berjubah, bergamis mewah, dandan bak orang Timur Tengah, sorban sampai “ngarat” ke tanah, tapi cukup dengan sarungan dan baju sederhana, beliau menjadi panutan masyarakat Kepulauan Bangka Belitung.

(3) Ulama Pemersatu dalam Keragaman Tapi Tegas dalam Prinsip. Sebagai sosok orangtua, Kiyai Usman Fathan menunjukkan kelasnya sebagai orangtua yang memiliki sikap penyayang, lemah lembut, santun, merangkul, penyelesai masalah, namun beliau juga menunjukkan sikap tegas dan memiliki prinsip yang kokoh.

Sosok Kiyai Usman Fathan merangkul semua keragaman yang ada, namun karena sikapnya selalu baik dan menerima siapa saja, seringkali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu lalu menjadi bahan jualan. Tidak hanya itu, seringkali mendekati Pemilu, sengaja caleg-caleg atau Calon peserta Pilkada datang ke kediaman beliau, membawa kamera, lantas berfhoto dan besoknya masuk ke halaman koran dengan judul “Kiyai Usman Fathan Mendukung ……………….”. Alhamdulillah, saya belum pernah melakukan ini walaupun memiliki beberapa foto dan video bersama beliau.

Karena bagi saya, terlalu kurang ajar orang seperti Kiyai Usman Fathan kita manfaatkan untuk kepentingan ambisi jabatan sesaat.

(4) Merangkul & Selalu Memuji yang Muda. Sebagai Ulama Sepuh, sosok Kiyai Usman Fathan tidak pernah merasa paling pintar, paling berpengalaman apalagi paling alim. Justru sepengetahuan saya, beliau paling sering memuji keilmuan dan kealiman ustadz-ustadz atau kiyai-kiyai muda. Beliau benar-benar memposisikan diri “hanya sebagai orangtua”, bukan orang yang paling alim, paling berilmu atau paling berpengaruh.

Padahal, banyak sekali kita saksikan hari ini, banyak Ustadz muda yang baru nongol, seperti sudah tidak nginjak tanah lagi. Bicara bagus didepan dan medsos, tapi ghibahin orang lancar dan pedas banget. Banyak kita saksikan orang-orang “mengkiyaikan” diri sendiri. Jangankan itu, ada banyak orang yang sudah bertitel “Haji” akan marah kalau kita menulis namanya tanpa huruf “H” di depannya. Kiyai Usman Fathan, tanpa dengan titel kiyai, haji dan jabatan, beliau tetaplah mulia dan terhormat, karena kehormatan itu sudah ada dalam dirinya dan perilaku sehari-hari.

***

TANPA embel-embel “tokoh berpengaruh” tanpa titel ini itu, tanpa jabatan, tanpa mencari popularitas, nama dan sosok Kiyai Usman Fathan melekat ditengah masyarakat. Kehadiran Kiyai Usman Fathan bersama masyaraat Negeri Serumpun Sebalai adalah pelajaran bahwa menjadi orang besar, orang berpengaruh, orang yang menyenangkan, cukuplah menjadi orang baik. Tidak perlu umbar diri di media, baliho di mana-mana, spanduk sekapot ancop, pamer sedekah kiyun kene dan sebagainya.

Tapi dari Kiyai Usman Fathan kita belajar kehidupan bahwa kebaikan akan membuahkan nilai. Karena nilai jauh berbeda dengan kesuksesan. Sedangkan kesuksesan belum tentu bernilai!

Selamat jalan Ulama panutan Negeri Serumpun Sebalai. Semoga kebaikan yang telah engkau tularkan akan menjadi bagian dari kehidupan kami saat ini dan di masa yang akan datang. Banyak pejabat, banyak orang populer, banyak orang berpengaruh dengan mempengaruhi diri, tapi maaf…., tidak banyak orang yang bisa kami jadikan panutan (teladan) apalagi memiliki pengaruh dalam kehidupan kami. Semoga Allah SWT melapangkan kuburmu, memberikan singgasana didalam sorga-Nya Allah SWT. Bersamamu di surga adalah untaian doa dari kami yang sedang belajar meneladanimu, walaupun diri ini hanya tukang bawa sandalmu nantinya di surga. Salam Pak Kiyai! (*)

Editor : Tim Garasi News