Tarman Azzam, Sosok Wartawan Berkarakter dan Membanggakan

avatar ADMIN

Oleh: AHMADI SOFYAN (Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya)

Sangat dekat dengan Presiden Soeharto, bahkan pernah makan sate daging kelinci dalam satu piring bersama Presiden RI tersebut. Tapi dirinya tetaplah bersahaja, sederhana dan tidak merasa hebat. Ke mana kegiatan Presiden, sosok anak kampung ini selalu ada bersama.

TARMAN AZZAM, namanya kesohor di masa kejayaan Orde Baru sebagai sosok Wartawan kepercayaan di Istana Negara yang pastinya sangat dekat dengan para pembesar di negeri ini. Semasa sekolah saya sudah mengenalnya namanya, karena sangat erat hubungan persahabatannya dengan paman saya, H. Suplan Azhari, yang sering bercerita tentang sosok dan kiprah Tarman Azzam.

Ketika paman saya menikahkan putrinya di Jakarta, di kala saya masih kuliah, di sinilah pertama kali saya bertemu dan ngobrol dengan Tarman Azzam. Selanjutnya pertemuan demi pertemuan, kegiatan diberbagai tempat, baik di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bangka dan Belitung, saya sering membersamai Tarman Azzam.

Sosoknya yang humble, kulitnya putih bersih, rambutnya memutih, senyumnya memikat, tuturnya teratur, dan tubuhnya proposional, adalah gambaran tentang sosok Tarman Azzam. Beberapa kali saya duduk bareng beliau dalam sesi kegiatan, termasuk kami pernah beberapa kali berangkat bersama keluar daerah dan satu mobil dengan beliau. Bersama dan bercengkerama dengan Tarman Azzam adalah pengalaman yang menyenangkan.

Sebagai anak muda “kemaren sore” yang suka bergaul dengan berbagai kalangan, saya kerapkali mendapatkan banyak nasehat, terutama tentang idealisme, komitmen, kejujuran dan menjaga nilai-nilai ke-Bangka-an. Tarman Azzam termasuk salah satu guru dan motivator saya dalam hal ini. Bahkan beberapa sahabat beliau pernah mentasbihkan dengan kalimat yang menurut saya terlalu berlebihan sebab sangat jauh perbandingan, yakni: “Ahmadi Sofyan ini seperti Tarman Azzam, cara menulis dan bicaranya sudah mirip. Lugas, tegas dan sedikit keras”.

Padahal saya bukanlah wartawan, tak punya media dan hanyalah sebagai penulis kecil dan kolomnis di berbagai media baik cetak maupun online seperti catatan ringan ini. Sesekali kalau ada yang “nekad” saya diundang menjadi Pembicara dalam berbagai event kegiatan baik di kampus maupun di luar kampus. Sebab mengundang saya jadi pembicara itu tidak gampang, maksudnya tidak gampang buat yang punya acara, sebab pasti ada yang protes: “Ngapain ngundang Ahmadi Sofyan! Masih banyak yang lain yang lebih hebat” atau beberapa hari sebelum acara, tiba-tiba dibatalkan oleh panitia karena ada pejabat daerah yang tidak suka kalau ada Ahmadi Sofyan.

Ketua PWI Pusat (periode 1998 – 2008 & 2008 - 2013) yang juga pernah menjadi Anggota MPR RI & Anggota DPRD DKI ini adalah anak kampung di Pulau Bangka. Merantau untuk melanjutkan sekolah dalam kemiskinan di Ibukota, mengawali kehidupan tertatih-tatih, menempa diri dalam berbagai organisasi, adalah bagian kecil dari perjalanan sang Putra dari pasangan Zuraida (Dot) berasal dari Desa Tanah Bawah dan sang ayah bernama Mat Azis yang akrab dipanggil Acok bin Derani yang berasal dari Desa Zed.

Puisinya berjudul “Sepatu” adalah salah satu karya sastranya yang menceritakan tentang perjuangan sepatunya dalam menjelajah Ibukota. Sepatu tua yang ia pakai itu sudah menemani langkahnya bergaul ke berbagai kalangan. “Dari kaum jelata hingga raja-raja…..” salah satu bait yang beliau tuturkan. Dalam catatan saya pribadi, selama mengenal dan bercengkerama dengan Tarman Azzam, setidaknya ada beberapa kepribadian yang menjadi teladan generasi masa kini, antara lain:

(1) Ulet, Jujur dan Organisatoris. Sosok Tarman Azzam yang notabene adalah anak kampung sangat memahami bahwa modal utama dalam kehidupan, pergaulan dan pekerjaan adalah memiliki sikap yang ulet dan jujur. Keuletan sosok Tarman Azzam diceritakan sahabat karibnya, Zulkarnain Karim (Walikota Pangkalpinang 2003 – 2008 & 2008 – 2013).

Keuletan dan kejujuran seorang Tarmann Azzam mengawali kariernya dari seorang wartawan sederhana di Ibukota membuat ia akhirnya justru terpilih menjadi Ketua PWI Pusat selama 2 periode.

Relasi yang ia bangun dan keaktifannya di berbagai organisasi membuat ia pernah menjabat sebagai Anggota MPR RI dan Anggota DPRD DKI. Tentunya inilah tidak lepas dari sikap ulet dan jujur seorang anak kampung di pelosok Pulau Bangka. Apalagi sosok Tarman Azzam dikenal sejak remaja aktif dalam berbagai organisasi, seperti Pelajar Islam Indonesia (PII), Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU dan juga aktif di Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Kemudian ketika menjadi mahasiswa, ia aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan sekaligus juga Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

(2) Bersahaja dan Sederhana. Sikap bersahaja dan hidup sederhana sosok Tarman Azzam tidak lepas dari sifatnya yang dikenal jujur. Walau diri pernah menjadi pimpinan redaksi sebuah media nasional, anggota MPR RI, Anggota DPRD DKI, Ketua PWI tiga periode, tidak membuat Tarman Azzam berlimpah harta. Rumahnya di Jakarta masuk gang yang tidak begitu lebar dan rumahnya tidaklah mewah.

“Siapa sangka rumah ini adalah rumah Tarman Azzam, yang sebetulnya ia punya akses langsung ke penguasa Orde Baru, Soeharto, tapi beliau sangatlah sederhana,” ungkap salah satu tokoh kala kami melayat Tarman Azzam yang meninggal dunia pada 9 September 2016 lalu. Jenazahnya dibawa ke Jakarta dan banyak tokoh Bangka Belitung hadir.

Kesederhanaan dan kesahajaan dari sosok Tarman Azzam pernah juga diceritakan Dato’ Sri Haji Emron Pangkapi yang pernah menumpang di rumahnya yang sangat sangat sederhana. “Saya kira dengan nama besarnya dan kekuatan jaringannya, kala itu, Tarman Azzam pasti kaya raya, ternyata rumahnya cuma satu kamar dan benar-benar di luar dugaan. Benar-benar sosok yang sangat bersahaja,” kata Emron Pangkapi menceritakan kepada penulis tentang sosok Tarman Azzam beberapa tahun silam.

(3) Tidak Merasa Besar Walau Bersahabat dengan Orang-orang Besar. Sebagai seorang Wartawan, pernah menjadi Anggota MPR RI, Anggota DPRD DKI, wartawan kepercayaan Istana Negara, selalu dekat dan kemana pun kegiatan Presiden, Tarman Azzam pastilah turut serta, namun ternyata tidak membuat dirinya angkuh berlagak hebat dan tidak jua merasa diri adalah orang besar.

“Dengan kekuatan jaringannya, Tarman Azzam itu bisa membuat dirinya jauh lebih hebat dan kaya raya. Sebab kekuatan Istana bisa ia manfaatkan. menteri, gubernur, bupati, wali kota, pengusaha, jenderal manapun di era Orde Baru, pasti adalah jaringan Tarman Azzam. Tapi ia tetaplah menjadikan dirinya sosok yang mengutamakan persahabatan, sosok wartawan senior yang menjaga nilai-nilai kewartawanan” begitulah yang pernah saya dengar dari seorang tokoh mengenai kesempatan dan kekuatan jaringan seorang Tarman Azzam.

Dari sinilah saya pribadi banyak belajar, bahwa jaringan itu adalah persahabatan, bukan memanfaatkan jaringan untuk kepentingan sesaat apalagi sekedar harta atau jabatan.

(4) Wartawan Berkarakter. Tarman Azzam tercatat dalam sejarah sebagai salah satu Tokoh Pers dan Wartawan Senior yang pernah dimiliki bangsa Indonesia. Anak kampung ini memulai kariernya sebagai seorang wartawan setelah dinyatakan lulus dan diterima menjadi Anggota Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) cabang Jakarta pada kurun waktu 1970-an. Selama menjadi Wartawan, Tarman Azzam aktif di PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang akhirnya membuat ia memimpin organisasi berkelas tersebut selama 2 periode.

Tulisan-tulisan Tarman Azzam sangatlah bernas. Pidato-pidatonya sangat tegas bak seorang motivator, apalagi kalau berbicara tentang pers atau dunia kewartawanan. Sebagai seorang insan pers, Tarman Azzam dikenal memiliki karakter yang kuat dan diakui nasional. bahkan bersama Rosihan Anwar, Tarman Azzam pernah menerima anugerah sebagai Tokoh Wartawan Dunia Melayu dari Persatuan Bekas Wartawan Berita Harian Malaysia.

Artinya, pengakuan terhadap kiprah dan karakter seorang Tarman Azzam diakui oleh negara lain. Kalaulah ditanya mengapa memilih menjadi Wartawan? Tarman Azzam selalu tidak berubah jawabannya: “Panggilan jiwa untuk mengabdi pada bangsa dan negara”. kelihatannya klise kan? Tapi itulah yang selalu beliau katakan sejak dulu hingga akhir hayatnya dan ia telah membuktikannya.

***

JUM”AT 9/9/2016, Insan Pers Indonesia berduka. Tarman Azzam sang tokoh ini meninggal dunia di Ambon saat hendak memperingati Hari Pers Nasional. Sang tokoh presidium Perjuangan Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini menghembuskan nafas terakhirnya dalam keadaan masih tetap bergelut dalam dunia pers.

“Dia hampir tidak menyisakan waktu untuk keluarga karena mengurus organisasi” (Ilham Bintang, Kompas.com) Selamat jalan Guruku…., banyak nasehat, wejangan, petatah-petitih yang telah engkau sampaikan pada saya, muridmu yang “nakal” ini. semoga segala pengabdian dan kecintaanmu pada negeri (Indonesia) ini menjadi amal yang melapangkan kuburmu serta jalan menuju Sorga Allah SWT. Amiin ya robbal alamiim… Salam Tarman Azzam! (*)

Editor : Tim Garasi News